Peran Ayah dalam Pendidikan Anak
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin.
Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dipimpinnya atas mereka.” (HR. Muslim)
Sudah jamak diketaui, di dalam syariat Islam, kedudukan seorang ayah dinilai sangat penting dan mulia. Malah, hadis di atas mengungkapkan bahwa Ayah adalah kepala keluarga yang memimpin isteri, anak dan siapa saja yang tinggal bersamanya. Karena itu, setiap laki-laki yang diklaim sebagai ayah akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Timbul pertanyaan, apa saja beban yang dipikul seorang ayah terhadap anaknya? Sejauh mana peran ayah dalam mendidik anaknya?
Ayah, di dalam Islam, bukan hanya berperan sebagai ‘hamba’ yang diamanahi untuk membesarkan anak yang ‘dititipkan’ kepadanya. Dalam Islam, beban utama yang dipikul ayah adalah sebagai pembentuk generasi Islam yang saleh.
Karena menjalankan tugas dan kewajiban merawat anak secara syar’i hanyalah bertujuan untuk menjadikannya sebagai perhiasaan. Dikatakan perhiasan, karena anak yang akan menjadi bekal saat ditanya di hadapan Allah, dan mampu memberikan ‘bonus’ amal. Ia tak perlu merasa risau, karena anaknya sendiri yang akan menjadi saksi betapa ayahnya, memang, telah membentuknya menjadi generasi muslim yang saleh.
Apa saja yang harus dilakukan seorang ayah agar anaknya memiliki kepribadian yang saleh dan menjadi generasi Islam yang unggul? Jawabannya ada dua. Pertama, pembentukan dalam pendidikan akhlak. Akhlak dijadikan pendidikan yang paling utama, karena di dalam Al-Quran sendiri cukup banyak termuat kaidah-kaidah akhlak dan etika dalam segala aktifitas manusia.
Bahkan, diangkatnya Muhammad bin Abdullah sebagai Rasul Allah, hanya, untuk menyempurnakan akhlak manusia. Karena itu, pendidikan akhlak terhadap anak, memang, menjadi titik fokus yang utama di dalam Islam. Hal ini dicontohkan Lukman al-Hakim sebagaimana disitir di dalam al-Qur’an, (Luqman berkata): “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman [31]: 16-19)
Tak hanya itu, Rasulullah Saw. sendiri mengklaim orang yang sempurna imannya juga melalui akhlak. “Orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara mereka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Kalau akhlak sedemikian penting menyangkut keimanan seseorang, tentu pendidikan akhlak juga menjadi perhatian penting. Bahkan Imam Al-Ghazali menuliskan dalam kitab Ihya Ulumuddin, “Anak adalah amanah di tangan ibu bapaknya. Hatinya masih suci ibarat permata yang mahal harganya. Maka jika ia besar dengan akhlak yang baik maka akan bahagia dunia akhirat. Sebaliknya, apabila terbiasa dengan akhlak yang buruk, tidak diperdulikan sebagaimana hewan maka ia akan hancur dan binasa.” Hal ini senada dengan hadis Rasulullah Saw., “Tidak ada pemberian yang lebih utama dari seorang ayah kepada anaknya selain akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Andaikata ayah tak pandai dalam mendidik akhlak anaknya, maka sudah menjadi tugas ayah mencarikan lembaga pendidikan atau sekolah yang mampu membentuk anaknya menjadi generasi yang Islam yang saleh dan berakhlak mulia. Karena keberadaan misi dakwah Islam di masa akan datang berada di pundak anak-anak yang berakhlak mulia.
Kedua, pembentukan dalam pendidikan berpikir. Kenapa pendidikan berpikir dianggap perlu untuk diajarkan kepada anak? Karena generasi Islam yang saleh adalah mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang brilian. Pendidikan berpikir dalam Islam berupaya mengembangkan kreativitas pikir dan nalar, imajinasi, penguatan daya ingat, kemampuan analisis dan kemampuan mengenal yang menciptakannya.
Tentunya, memberikan pendidikan berpikir tidak semua ayah bisa melakukannya. Maka, tak ada jalan lain kecuali menyekolahkan mereka di lembaga pendidikan yang mampu mengajarkan anak bagaimana berpikir yang baik.
Bagaimana menjadikan mereka benar-benar mengenal Allah sebagai Tuhan? Tentunya, mengenal Allah di sini bukanlah pada taraf sekedar tahu, tapi mampu menuntun anak tersebut mampu membuktikan keesaan dan keberadaan Allah melalui akalnya. Akalnya benar-benar dipergunakan untuk berpikir mengenal Allah.
Karena itu, menjadi penting bagi seorang ayah memberikan kedua pendidikan seperti yang tersebut di atas terhadap anaknya. Anak itulah yang menjadi penolongnya saat amal di hitung di hadapan Allah. Tak ada perintah yang utama terhadap orang tua selain mendidik anaknya dengan pendidikan yang baik. Dan, Rasulullah Saw. senantiasa berpesan, “Muliakanlah anak-anakmu dan baguskanlah Akhlaknya.”
Menjaga Lingkungan Pergaulan Anak
Memberikan pendidikan akhlak dan berpikir yang diajarkan Islam, maka tugas ayah juga menjaga lingkungan pergaulan anak agar tidak terkena ‘virus’ yang dapat merusak akhlak dan cara berpikir mereka. Jika ini terjadi, maka pendidikan yang selama ini digagas akan hancur dan tidak memiliki arti apa-apa.
Anak yang sebagai ‘perhiasan’ tidak lagi menjadi sesuatu yang dibanggakan karena ia telah berubah. Karena itu, penting juga menjaga lingkungan pergaulan anak. Virus yang dapat merusak mereka berasal dari lingkungan sekitar mereka berada.
Di sini, dituntut kepintaran sang ayah dalam menjaga pergaulan anak. Jangan sampai anak yang didik dengan berpikir yang baik berubah menjadi berpikir yang buruk. Anak yang mempunyai akhlak yang mulia berubah menjadi berakhlak buruk.
Karena Rasulullah Saw. mengatakan, “Perumpamanaan antara teman yang saleh dengan seorang teman yang buruk itu bagaikan pembawa minyak wangi dengan tukang pandai besi. Adapun pembawa minyak wangi itu boleh jadi akan memberimu atau engkau membeli darinya atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan tukang pandai besi boleh jadi akan membakar pakaianmu atau engkau akan mendapatkan bau busuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, sang ayah dituntut mencarikan atau mengenalkan komunitas yang mampu menjaga akhlak dan cara berpikirnya yang benar.
Intinya, setelah memberikan pendidikan akhlak dan pendidikan berpikir yang benar kepada mereka sang ayah sangat dituntut juga untuk mengontrol pergaulan mereka. Eksistensi akhlak dan berpikir mereka yang benar akan sangat dibutuhkan saat mereka menjalani kehidupan di dunia ini, dan menjadi pilar untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mengutamakan akhlak dan berpikir yang benar. Wallahuallam.
Oleh : H. Rahmat Hidayat Nasution, Lc
Penulis adalah Pengurus Lembaga Baca-Tulis (eLBeTe) Sumut dan Mahasiswa PPs UNIMED
Sumber: http://www.analisadaily.com – 16 Juli 2010