Anakku, Seandainya
Belakangan aku banyak memperhatikan tingkah laku anak-anak. Baru saja kutemui seorang anak yang kedua orang tuanya tampak sebagai orang baik buatku. Menurut penilaianku, anak itu cukup cerdas dan enerjik. Hanya saja, seperti ada yang berlebihan dalam kenakalannya. Nakalnya tida lagi masuk kategori “ono akal” alias cerdik menurut orang Jawa, melainkan sudah sampai pada tahap ketidaksopanan dan kontrol diri yang amat lemah. Ia sering memukul ibu atau baby sitter-nya tanpa ampun. Hanya sang ayah saja yang mampu menundukkannya, itu pun akan kembali lagi jika sang ayah tidak di rumah. Sekilas, tidak ada yang salah dengan kedua orang tuanya. Keduanya juga mengajarkan ilmu agama yang cukup baik. Entah mengapa sang anak amat sulit mengikuti ajaran orang tuanya.
Tak lama aku pun teringat pertemuanku dengan seorang anak lain setahun yang lalu. Bocah yang belum bisa bicara dan berjalan dengan tegak itu tampak memiliki wajah yang bersinar dan selalu tersenyum. Sang ibu mengatakan, anaknya hampir tidak pernah menangis, kecuali sedang sakit ataupun benar-benar lapar. Kebanyakan ia selalu menyapa siapapun dengan senyumannya yang menawan. Amat berlainan dengan anak kenalanku yang pada usia yang sama selalu memasang tampak ‘jutek’ kepada orang lain.
Aku termasuk orang yang amat yakin bahwa manusia selalu bisa berubah. Hanya saja, bukti yang kutemukan pada anak-anak tersebut membuatku berpikir bahwa sumbangan natural yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan tampaknya memiliki peran yang tidak sedikit. Mengapa ada anak-anak yang nakal secara berlebihan sementara orang tuanya demikian baik? Siapa yang mengajarinya sedangkan di sekolah ia tidak memiliki teman yang senakal itu? TV kah? Bisa jadi, namun jika dilihat anak yang selalu menampakkan senyuman ramah pada setiap orang sementara ia bahkan belum bisa bicara dan berjalan, siapa pula yang mengajarinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu sedikit terjawab belakangan ini. Disebutkan bahwa bagaimana seorang anak dibesarkan dalam kandungan ternyata amat mempengaruhi bagaimana jadinya bahan dasar si anak sebelum belajar di dunia yang sebenarnya. Itulah sebabnya sebuah ajaran lama menasihatkan pada para ibu untuk amat berhati-hati dalam bertingkah laku selama mengandung sang anak. Perasaan yang muncul, entah itu kegembiraan, kebencian, kekesalan, dsb akan menjadi ‘pelajaran’ pertama bagi anak di dalam kandungan. Belum lagi kemudian aku teringat sebuah ajaran agama bahwa rezeki yang halal akan menjadikan daging yang baik bagi tubuh sedangkan rezeki yang haram akan menjadikan daging yang buruk.
Selidik punya selidik, ayah si anak nakal tadi tampaknya memiliki rezeki yang kurang jelas datangnya. Di tempat kerjanya, memang hal itu wajar-wajar saja, karenanya ia tetap merasa penghasilannya halal. Sedangkan anak dengan senyuman menawan tadi rupanya dibesarkan dalam kandungan oleh ibu yang mengkhatamkan Al Qur’an setiap bulannya. Mendengar hal tersebut aku pun menjadi cemas sekaligus gembira. Gembira karena aku bisa secara sadar tahu bagaimana caranya memiliki anak yang sudah memiliki bekal untuk menjadi orang shaleh. Cemas karena begitu banyak hal-hal yang tidak jelas bisa masuk dalam aliran darah justru tanpa disadari. Sewajarnya manusia, rasa takut muncul dari hal-hal yang di luar jangkauannya. Aku gembira karena aku masih memiliki kemungkinan besar untuk memiliki anak yang jauh lebih baik dariku. Aku cemas karena bisa jadi banyak hal yang kujalani sekarang tidak memungkinkanku memberikan rezeki yang tidak jelas padanya kelak.
Oh, semoga Allah memberiku tangan yang mampu menjangkau hal-hal ini…
taken from http://belajarbersyukur.wordpress.com/